Kedatangan Mama mengejutkanku. Karena tidak ada kabar sebelumnya.
Setelah mencium tangan dan cipika cipiki, aku langsung bertanya, “Kenapa gak nelepon dulu kalau Mama mau datang?”
“Memangnya gak seneng ya kalau sekali - sekali mama bikin kejutan sama anak mama?”
“Bukan begitu. Aku kaget aja tau - tau Mama muncul. Naik apa tadi ke sini Mam?”
“Pake kereta api. Dari stasiun ke sini pake taksi.”
“Tapi Mama sehat - sehat aja kan?”
“Sehat. Itu mama bawain balado teri medan dan sambel goreng kentang udang kesukaanmu.”
“Hehehee… iya… terima kasih Mam. Tapi sebentar… Mama ke sini sama siapa?”
“Sendirian aja.”
“Kok gak sama Papa?”
“Ah… papamu lagi main gila sama janda muda. Mana mau dia diajak ke sini. “Ohya, mama pengen nginap di kota ini, biar sekalian bisa jalan - jalan. Tapi mama gak mungkin bisa tidur di sini kan?”
“Iya Mam. Peraturan ibu kos ketat sekali. Gak boleh ada orang luar ikut nginep di sini, meski orang tua sekali pun tidak boleh.”
“Ya udah. Cariin hotel aja yang tidak jauh dari rumah kos ini.”
“Memangnya Mama berani tidur sendirian di hotel?”
“Takutlah. Kan ada kamu yang bisa nemenin mama selama mama di kota ini.”
“Iya deh. Nanti aku temani. Tapi oleh - olehnya bawa ke hotel aja ya. Biar makan di sana aja.”
“Boleh. Mmm… tiap kamar di rumah kos ini dihuni sama dua orang ya?”
“Iya Mam. Teman sekamarku baru berangkat kuliah. Dia dapet kuliah sore sampai malam. Aku sih kuliah pagi tadi.”
“Di rumah kos ini ada ceweknya juga?”
“Gak ada Mam. Semuanya cowok. Ibu kos gak mau terima cewek, takut ada yang hamil gak jelas, katanya.”
“Hihihiii… gitu ya. Ayolah sekarang kita cari hotel dulu.”
“Iya, “aku mengangguk sambil mengganti pakaian di depan Mama. “Rencananya mau berapa hari di Jogja Mam?”
“Maunya sih semingguan. Ingin jalan - jalan ke candi Prambanan dan Borobudur, ingin ke keraton. ke pantai Parangtritis dan sebagainya. Makanya cari hotel yang murah aja, biar bisa jalan - jalan sama kamu. Ohya… hari Senin kan tanggal merah. Kamu libur kan?”
“Iya Mam. Jadi sekarang ini long weekend. Sabtu, Minggu dan Senin libur.”
“Syukurlah. Mama ingin diantar jalan - jalan, mumpung lagi di Jogja.”
“Iya Mam. Dari Selasa sampai Jumat, kuliahku pagi terus. Jadi Mama bisa istirahat dulu, siangnya aku pulang kuliah langsung ke hotel.”
Beberapa saat kemudian, sebuah taksi membawa kami ke sebuah hotel yang sudah kusebutkan kepada sopir taksi. Hotel melati tiga, tapi fasilitasnya bagus. Ada AC dan air panasnya, karena Mama terbiasa mandi pakai air panas. Kamarnya juga bersih dan serba baru, karena hotelnya juga baru dibuka beberapa bulan yang lalu.
Dan yang lebih penting lagi, hotel ini tidak terlalu jauh dari Malioboro. Jadi kalau Mama mau belanja ke Malioboro, bisa jalan kaki dari hotel juga.
Setelah berada di dalam kamar hotel, aku langsung membuka oleh - oleh dari Mama. Ternyata ada nasi timbelnya juga (nasi yang digulung dengan daun pisang).
“Ayo makan dulu Mam,” ajakku.
“Makanlah. Mama masih kenyang, tadi makan nasi goreng di dalam kereta api,” sahut Mama, “Nanti kita jalan - jalan ke Malioboro ya.”
“Iya Mam,” ucapku yang sudah mulai makan oleh - oleh Mama.
Mama mengeluarkan handuk, sabun, shampoo, odol dan sikat gigi dari dalam tas pakaiannya. “Mama mau mandi dulu ah, “katanya.
“Kalau sudah ada rencana mau tidur di hotel, ngapain bawa handuk dan sabun segala? Kan hotel - hotel selalu menyediakan peralatan mandi Mam,” kataku.
“Ah, mama mah suka risih pakai handuk hotel. Takut pernah dipakai oleh orang yang punya penyakit menular.”
“Kan selalu dicuci bersih sebelum diberikan pada tamu yang baru cek in seperti kita ini Mam.”
“Tetep aja risih. Siapa tau ada bakteri atau virus yang tidak mati di mesin cuci,” sahut Mama yang lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Aku pun melanjutkan makan sampai kenyang. Kemudian cuci tangan di washtafel.
“Booon… !” terdengar suara Mama memanggilku dari kamar mandi.
“Ya Mam?” aku menghampiri pintu kamar mandi.
“Tolong ambilin celana corduroy biru tua, baju kaus hitam dan celana dalam dari tas pakaian mama Bon… !”
“Iya Mam,” sahutku sambil bergegas membuka tas pakaian Mama. Untuk mengeluarkan celana corduroy berwarna biru tua, baju kaus berwarna hitam dan celana dalam putih. Kemudian aku melangkah ke pintu kamar mandi sambil menjinjing pakaian Mama itu.
“Ini Mam !” seruku di depan pintu kamar mandi.
“Buka aja pintunya, gak dikunci kok,” sahut Mama.
Kubuka pintu kamar mandi lalu masuk ke dalamnya.
Dan… aaah… Mama sedang telanjang bulat dengan badan masih berbusa sabun…!
Biasanya kalau melihat Mama telanjang, aku suka memalingkan muka, karena jengah. Tapi kali ini aku malah terpaku sambil mengamati keindahan tubuh Mama itu. Tubuh yang tinggi langsing, namun dengan buah dada dan pinggul yang besar.
Kemudian Mama membilas busa sabun di tubuhnya dengan pancaran air shower yang mengepulkan uap, karena airnya panas. Sementara aku malah berdiri terus sambil memperhatikan keindahan tubuh Mama yang… gila… kenapa batinku jadi berdesir - desir aneh begini?
Setelah tubuh Mama bersih dari busa sabun, tampak jelas… kemaluan Mama yang berjembut tipis itu… sehingga bentuknya tetap jelas kelihatan.
Lalu… kenapa pula Pensku mendadak ngaceng begini? Apakah aku mendadak jadi anak yang bejat, yang membayangkan “sesuatu” terhadap ibu kandungku sendiri?
Tapi ketika Mama tampak menyadari kehadiranku yang masih memegang pakaian bersihnya ini, aku pun memalingkan muka sambil mengangsurkan pakaian Mama. Tapi Mama malah menghanduki badannya, sementara tanganku masih menggenggam pakaiannya.
Kemudian Mama mengambil pakaiannya dari tanganku.
Aku pun keluar dari kamar mandi. Tanpa kata - kata lagi.
Tapi batinku berkecamuk. Berkemelut yang sulit meredakannya.
Aku berusaha menenangkan diri dengan keluar dari kamar. Dan duduk di kursi depan kamar, sambil memandang pohon sawo yang tampak sudah berbuah tapi masih kecil - kecil itu. Namun batinku tetap dikuasai oleh sesuatu yang sangat merangsang di kamar mandi tadi.
Yang membuatku jadi resah. Berdiri lagi. Jalan - jalan ke depan hotel, balik lagi ke kamar dan merebahkan diri di atas satu - satunya ranjang dalam kamar ini. Sementara Mama sedang menyisir di depan cermin meja rias.
“Kamu ngantuk Bon?” tanya Mama tanpa beranjak dari depan meja rias sederhana itu.
“Iya Mam. Dibius sama nasi tadi.”
“Makanya kalau makan jangan sampai terlalu kenyang. Ya udah… ke Malioboronya nanti malam aja ya.”
“Iya Mam,” sahutku sambil pura - pura terpejam. Padahal aku sedang memperhatikan Mama secara diam - diam. Bahwa Mama melepaskan kembali celana corduroy biru tua dan baju kaus hitamnya. Bahkan behanya pun dilepaskan. Kemudian Mama mengeluarkan kimono berwarna orange dari dalam tas pakaiannya.
Dikenakannya kimono orange itu. Kemudian Mama naik ke atas bed, sambil memeluk bantal guling, membelakangiku.
“Peluk mama Bon. Dulu waktu masih kecil kamu kan seneng banget melukin mama,” kata Mama.
Memang benar kata Mama. Waktu masih kecil, aku senang sekali memeluk Mama sambil memainkan payudaranya yang montok itu. Tapi sejak lulus SMP, aku tak pernah diajak tidur bareng Mama lagi.
Dan kini aku sudah dewasa. Sudah menyelesaikan kuliah, bahkan sedang menyiapkan skripsi.
Maka jelaslah aku merasa jengah kalau harus memainkan payudara Mama lagi. Tapi aku tetap memeluk mama dari belakang, seperti yang Mama inginkan.
“Mam… Papa itu main perempuan mana lagi?” tanyaku sambil mendekap pinggang Mama.
“Sama janda muda yang sekantor dengannya.”
“Papa gak ada bosannya ya nyakitin Mama.”
“Biarin aja Bon,” sahut Mama sambil menggulingkan badannya jadi berhadapan denganku, “Mama malah akan membalas dendam sama Papa dengan cara mama sendiri.”
“Asal jangan pakai kekerasan aja Mam.”
“Nggak. Mama mau selingkuh aja. Tapi gak mau selingkuh sama orang luar.”
“Lalu mau selingkuh sama siapa Mam?”
“Sama kamu. Mau nggak kita kompak untuk membalas perbuatan Papa?”
“Maksudnya dengan cara gimana?”
Tiba - tiba Mama membisiki telingaku, “Masa sudah hampir sarjana gak ngerti maksud mama?”
“Hmm… samar - samar Mam. Mau selingkuh denganku maksudnya… mau begituan sama aku gitu?”
“Iya. Mama pengen dientot sama kamu.”
Laksana mendengar ledakan petir di siang bolong, aku ternganga sambil memperhatikan senyum dan tatapan mata Mama yang lain dari biasanya.
“Ayo jangan munafik kamu. Mau nggak berselingkuh sama mama?” tanya Mama sambil menarik ritsleting celana jeansku, lalu menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku. Dan menggenggam Pensku yang memang sudah ngaceng sejak disuruh memeluk Mama tadi.
“Bona…! Sejak kapan Pensmu jadi gede dan panjang begini Bon?” seru Mama seperti kaget.
“Sejak aku dewasa aja Mam. Mama kan suka mandiin aku waktu masih kecil. Setelah aku di SMP, Mama gak pernah mandiin aku lagi.”
“Mmm… Pensmu mantap Bon…!” ucap Mama setengah berbisik, sambil meremas Pensku dengan lembut.
“Hehehee… Mama serius mau dientot sama aku?” tanyaku sambil menurunkan celana jeans sekaligus celana dalamku, sampai terlepas dari sepasasng kakiku.
“Iya. Mama ingin mengobati sakit hati dengan cara mama sendiri. Kamu mau kan?”
“Mau… tapi kalau Mama hamil nanti gimana?”
“Aaaah… itu sih pikirin nanti aja. Jangan dipikirin sekarang,” ucap Mama sambil menanggalkan kimononya, sehingga tinggal celana dalam saja yang masih melekat di badannya. Karena tadi, sebelum mengenakan kimono orange itu Mama sudah menanggalkan behanya.
“Ini beneran Mam?”
“Iyalah. Sejak berangkat dari rumah tadi, mama sudah merencanaklan ini semua. Lagian Pensmu juga udah ngaceng begitu, berarti kamu juga nafsu melihat mama telanjang di kamar mandi tadi kan?”
“Iya mam. Jujur aja, tadi waktu melihat Mama telanjang di kamar mandi, gak sari - sarinya Pensku jadi ngaceng.”
“Berarti kita sama - sama kepengen kan?” cetus Mama sambil mendekatkan wajahnya ke Pensku. Lalu menciumi moncongnya.
Aku bukan lagi lelaki yang masih ingusan dalam soal sex. Masa laluku yang sangat dirahasiakan itu, telah membuatku trampil dalam hal memuasi perempuan. Namun aku masih bersikap pasif dahulu, karena semuanya ini masih membuatku shock. Betapa tidak shock. Mama adalah ibuku. Nyaris tak dapat dipercaya bahwa Mama ingin dientot olehku, sebagai wujud dari pembalasan terhadap perselingkuhan Papa.
Tapi seperti kata Mama barusan, aku tak boleh munafik. Bukankah aku sangat terangsang waktu melihat Mama telanjang bulat di kamar mandi tadi, sehingga Pensku jadi ngaceng?
Dan kini, Mama bukan cuma menciumi moncong Pensku. Mama juga menjilatinya, bahkan lalu mengulum Pensku dengan binalnya. Maka tanpa keraguan lagi kubalas peruatan Mama itu dengan mempermainkan pentil buah dadanya.
Tapi semuanya itu kulakukan sambil memejamkan mataku. Karena kalau bertemu pandang dengan Mama, ada perasaan bersalah di dalam hatiku. Itulah sebabnya aku memejamkan mataku sambil meremas buah dada Mama dan mengemut pentilnya sambil memejamkan mataku. Sambil membayangkan sedang meremas dan mengemut buah dada dosenku yang seksi itu.
Namun ketika aku masih memejamkan mata, tangan kananku ditarik oleh Mama, lalu diletakkan di permukaan sesuatu yang berambut tipis dan ada celahnya… yang aku yakin bahwa yang kusentuh ini adalah Vgina Mama…!
Setelah menyentuh sesuatu yang membangkitkan tanda tanya dan nafsu ini, kubuka mataku. Ternyata Mama sudah menanggalkan celana dalamnya. Dan yang sedang kujamah ini adalah Vginanya…!
Sementara Mama pun sudah menelentang sambil tersenyum manis padaku.
“Ayo mau diapain Vgina mama ini Sayang?” tanyanya sambil mengelus - elus rambutku.
“Ma… mau dijilatin seperti dalam film bokep Mam. Boleh?” aku menatap Mama dengan perasaan masih ragu.
“Boleh,” sahut Mama, “jilatinlah sepuasmu. Anggap aja mama ini orang lain. Bukan ibumu. Ayo… jilatinlah Vgina mama. “Mama merenggangkan kedua belah paha putih mulusnya sambil tersenyum yang sangat lain dari biasanya.
Kubulatkan hatiku, lalu tengkurap di antara kedua belah paha Mama, dengan wajah berada di atas kemaluan Mama yang jembutnya sangat tipis dan halus itu.
Nafsu birahi sudah semakin menguasai diriku. Sehingga tanpa keraguan lagi kungangakan mulut Vgina Mama, sehingga bagian yang berwarna pink itu tampak jelas di mataku. Hmmm… betapa menggiurkannya bagian yang berwarna pink itu.
Maka kujilati bagian yang berwarna pink itu dengan lahap. Membuat Mama mulai menggeliat sambil membelai rambutku yang berada di bawah perutnya.
Begitu lahapnya aku menjilati bagian yang berwarna pink di Vgina Mama itu. Sehingga Mama semakin menggeliat - geliat sambil berdesah - desah.
“Booon… ooooohhhhh Boooon… kamu sudah pandai gini jilatin Vgina yaaaa… lanjutkan jilatin Booon… itilnya juga jilatin… ini nih itilnyaaaaa… “Mama menunjuk ke bagian yang nyempil sebesar kacang kedelai itu.
Kuikuti keinginan Mama. Kujilati itilnya yang sebesar kacang kedelai itu. Bahkan kusertai dengan isapan - isapan, membuat Mama mulai klepek - klepek.
Bahkan pada suatu saat Mama berkata terengah, “Cu… cukup Bona…! Ma… masukin aja punyamu Sayaaaang… !”